Polisi Nggak Paham Hukum? Jangan Kaget, “Pabrik”-nya Memang Didesain Begitu
- account_circle Tryan Muhammad Syafti
- calendar_month
- comment 0 komentar

Polisi Nggak Paham Hukum? Jangan Kaget, "Pabrik"-nya Memang Didesain Begitu
Lo pernah liat polisi di jalan yang keliatan lebih bingung dari yang ditilang? Atau mungkin lo pernah berurusan dengan aparat yang cara bicaranya arogan dan nggak mencerminkan semangat melayani? Lo kesel, lo marah, dan lo bertanya-tanya, “Ini penegak hukum, kok kayak nggak ngerti hukum sama sekali?”
Tenang, lo nggak sendirian. Perasaan itu adalah sentimen kolektif satu negara. Tapi, gimana kalau gue bilang bahwa masalahnya bukan sekadar “oknum” polisi yang nakal? Gimana kalau masalahnya jauh lebih fundamental, yaitu pada cara negara ini “mencetak” polisinya sejak hari pertama?
Berhenti menyalahkan produknya. Sudah saatnya kita melihat “pabrik”-nya yang punya cacat desain serius.
DNA Orde Baru dan Struktur yang Timpang
Sebelum masuk ke ruang kelas pendidikan polisi, kita harus paham dulu panggungnya. Polri modern adalah institusi yang lahir dari rahim Reformasi, dipisahkan dari TNI dengan tujuan mulia: menjadi lembaga sipil. Tapi, DNA dari era sebelumnya—era Orde Baru di mana aparat adalah alat kekuasaan, bukan pelayan publik—nggak pernah benar-benar hilang.
Pemisahan itu justru melahirkan sebuah paradoks brutal: Polri menjadi lembaga superbody yang punya kuasa investigasi, penindakan, dan “pasukan” di bawah satu atap, tanpa ada mekanisme pengawasan eksternal yang benar-benar punya gigi. Fondasi ini penting, karena di atas struktur inilah sistem pendidikan yang timpang dibangun.
Pabrik Polisi dengan Dua Jalur yang Anomali
Nah, ini dia intinya. Bayangkan sebuah pabrik yang punya dua lini produksi untuk produk yang sama-sama bernama “polisi”, tapi dengan kualitas dan proses yang beda langit dan bumi.
1. Lini Produksi Cepat Saji: Bintara, Tulang Punggung yang Rapuh Ini adalah jalur yang menghasilkan mayoritas polisi yang kita temui setiap hari. Mereka adalah tulang punggung institusi. Prosesnya? Bikin geleng-geleng kepala.
- Bahan Baku: Lulusan SMA/SMK.
- Waktu Produksi: Pendidikan super singkat, seringkali hanya 5-7 bulan.
- Produk Jadi: Polisi berpangkat Bripda yang langsung dilepas ke jalanan.
Lima bulan. Coba resapi angka itu. Dibandingkan dengan kuliah S1 yang butuh 4 tahun (48 bulan) untuk sekadar memahami satu bidang ilmu, negara ini merasa 5 bulan sudah cukup untuk mencetak seseorang yang memegang wewenang atas kebebasan dan bahkan nyawa warga negara.
Dalam waktu sesingkat itu, mustahil hukum bisa dipahami. Paling mentok, hukum hanya dihafal untuk lulus ujian. Waktu mereka habis untuk latihan fisik, baris-berbaris, dan doktrin korsa. Pelajaran soal HAM, etika, psikologi massa, dan teknik komunikasi humanis hanya jadi lampiran tipis yang terlupakan. Hasilnya? Aparat yang sigap secara fisik, tapi rapuh secara intelektual dan emosional.
2. Lini Produksi “Elite”: Akpol, Para Manajer di Menara Gading Di sisi lain, ada Akademi Kepolisian (Akpol). Ini adalah jalur “premium”.
- Bahan Baku: Lulusan SMA/SMK pilihan.
- Waktu Produksi: 4 tahun, setara S1.
- Produk Jadi: Perwira berpangkat Ipda, calon pemimpin masa depan.
Di sini, mereka belajar hukum secara mendalam, plus manajemen, kriminologi, dan strategi. Mereka adalah produk yang secara teori jauh lebih berkualitas. Tapi di sinilah ironi terbesarnya: produk berkualitas ini seringkali langsung ditempatkan di posisi manajerial. Mereka duduk di kantor, merancang strategi, dan mengurus administrasi. Mereka yang paling paham hukum justru yang paling jarang berhadapan langsung dengan dinamika sosial di jalanan.
Resep Sempurna untuk Bencana
Kesenjangan kompetensi yang brutal ini adalah resep sempurna untuk semua masalah yang kita keluhkan:
- Diskresi Jadi Ladang Korupsi: Ketika seorang aparat di lapangan nggak paham seluk-beluk hukum, keputusan di tempat (diskresi) tidak lagi didasarkan pada analisis hukum, melainkan pada insting, perintah senior, atau yang terburuk: mencari celah untuk “damai di tempat”.
- Komunikasi Jadi Intimidasi: Karena tidak pernah dilatih secara serius untuk de-eskalasi dan komunikasi empatik, mode default mereka adalah arogansi dan intimidasi. Mereka tidak tahu cara melayani, jadi mereka memilih untuk mendominasi.
- Hukum Jadi Alat, Bukan Panduan: Hukum tidak lagi dilihat sebagai panduan untuk keadilan, tapi sekadar alat kerja yang bisa ditekuk-tekuk sesuai kepentingan dan situasi.
Bongkar Pabriknya, Bukan Cuma Mengeluh Soal Produknya
Jadi, lain kali Anda melihat kebobrokan di tubuh Polri, ingatlah bahwa itu bukan sekadar kegagalan individu. Itu adalah kegagalan sistematis yang diproduksi secara massal.
Solusinya bukan lagi sekadar memecat “oknum” atau membuat program pencitraan. Solusinya harus radikal: rombak total sistem pendidikan Polri.
Standarkan durasi pendidikan untuk semua polisi di level awal. Buatlah kurikulum yang 50% porsinya adalah tentang HAM, etika pelayanan publik, komunikasi, dan psikologi sosial. Hancurkan “kasta” pendidikan yang menciptakan kesenjangan antara perwira dan bintara.
Sebelum kita menuntut polisi yang profesional dan humanis, kita harus lebih dulu menuntut negara untuk menciptakan “pabrik” yang memang didesain untuk menghasilkan aparat seperti itu. Karena selama pabriknya masih rusak, kita akan selamanya menerima produk yang cacat.
- Penulis: Tryan Muhammad Syafti