OPINI: Media Sosial sebagai Alat Perlawanan Ditengah Kemunduran Demokrasi di Indonesia
- account_circle Admin
- calendar_month
- comment 0 komentar

Ilustrasi media sosial.
Pemberontakan di Mesir yang terjadi pada tahun 2011, sering kali dikenal sebagai bagian dari Arab Spring, adalah salah satu contoh paling signifikan dari penggunaan media sosial sebagai alat perlawanan terhadap rezim otoriter. Ketika rakyat Mesir merasa tercekik oleh kekuasaan Presiden Hosni Mubarak, media sosial menjadi platform untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka, mengorganisir protes, dan menyuarakan tuntutan akan perubahan.
Sepuluh tahun kemudian, Indonesia, sebuah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menghadapi tantangan serupa di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun secara formal masih merupakan negara demokrasi, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa pemerintahan Jokowi telah mengebiri ruang demokrasi, dengan parlemen (DPR) dan partai politik yang gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawas kekuasaan. Dalam kondisi ini, rakyat Indonesia tampaknya dibiarkan berjuang sendiri untuk mempertahankan hak-hak demokratis mereka.
Pemberontakan Mesir dan Peran Media Sosial
Pada awal 2011, rakyat Mesir berada di bawah kendali rezim Hosni Mubarak, yang telah berkuasa selama hampir 30 tahun. Rezim ini ditandai dengan korupsi yang merajalela, pelanggaran hak asasi manusia, dan penindasan politik. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi kali ini—media sosial muncul sebagai kekuatan baru yang tidak dapat diabaikan.
1. Kekuatan Organisasi dan Mobilisasi
Media sosial, terutama Facebook dan Twitter, menjadi alat utama bagi aktivis Mesir untuk mengorganisir protes. Sebuah grup Facebook bernama We Are All Khaled Said, yang didirikan untuk mengenang seorang pemuda yang tewas di tangan polisi, berhasil mengumpulkan ratusan ribu anggota. Grup ini tidak hanya menyebarkan informasi tentang kebrutalan rezim, tetapi juga mengkoordinasikan aksi protes besar-besaran yang terjadi di Lapangan Tahrir, Kairo.
2. Menyuarakan Ketidakadilan
Platform seperti Twitter digunakan untuk menyebarkan informasi secara real-time tentang situasi di lapangan, mengatasi sensor yang diterapkan oleh media tradisional. Video dan gambar dari protes, yang diunggah ke YouTube, juga membantu membangun solidaritas internasional dan menekan pemerintah Mesir untuk menahan diri dalam menghadapi protes.
3. Transparansi dan Akuntabilitas
Media sosial memungkinkan transparansi yang belum pernah ada sebelumnya. Aktivis dapat dengan cepat menyebarkan bukti visual dan laporan saksi mata tentang tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Ini menciptakan tekanan internasional yang kuat, yang pada akhirnya memaksa Mubarak untuk mundur dari jabatannya.
Indonesia: Demokrasi yang Terkikis
Jika kita bandingkan dengan situasi di Indonesia saat ini, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman Mesir. Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, ada kekhawatiran yang berkembang bahwa demokrasi di Indonesia sedang terkikis.
1. Rezim Jokowi dan Pengikisan Demokrasi
Presiden Jokowi, yang pada awalnya diharapkan menjadi pembawa angin segar demokrasi, kini justru dituduh mengebiri kebebasan demokrasi di Indonesia. Banyak pihak merasa bahwa pemerintahan Jokowi semakin menumpulkan ruang bagi perbedaan pendapat dan kritik.
Langkah-langkah seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembatasan kebebasan berpendapat melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden melalui amendemen UUD 1945 dianggap sebagai bukti dari upaya sistematis untuk mengurangi demokrasi.
2. DPR: Pengawas yang Mandul
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia seharusnya menjadi lembaga yang mengawasi kinerja eksekutif dan memastikan bahwa pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi. Namun, banyak pengamat politik menilai bahwa DPR saat ini gagal menjalankan fungsi pengawasannya.
Alih-alih menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif, DPR tampaknya lebih sering menjadi “stempel karet” yang menyetujui kebijakan-kebijakan kontroversial tanpa banyak perlawanan. Contohnya, persetujuan terhadap revisi UU KPK yang justru melemahkan lembaga antikorupsi ini, serta pembahasan yang tergesa-gesa terhadap undang-undang seperti Omnibus Law yang menuai banyak kritik dari berbagai kalangan.
3. Partai Politik: Institusi yang Gagal
Partai politik di Indonesia juga dianggap tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam teori demokrasi, partai politik seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, menyuarakan aspirasi masyarakat, dan memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kesejahteraan publik.
Namun, dalam praktiknya, partai politik di Indonesia lebih sering berfokus pada kepentingan elit dan pemimpin partai daripada pada kepentingan rakyat. Ketergantungan partai politik pada dana dari sumber-sumber yang tidak transparan juga menambah kerentanan mereka terhadap korupsi dan tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Rakyat Indonesia: Berjuang Sendirian?
Dengan kondisi seperti ini, rakyat Indonesia tampaknya dibiarkan berjuang sendirian untuk mempertahankan hak-hak demokratis mereka. Media sosial, yang pernah menjadi harapan untuk memperkuat demokrasi, kini menjadi medan pertempuran yang tidak seimbang. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka, tetapi di sisi lain, pemerintah juga semakin pintar dalam menggunakan media sosial untuk mengontrol narasi.
1. Perlawanan Melalui Media Sosial
Meskipun menghadapi banyak tantangan, masyarakat Indonesia masih berusaha menggunakan media sosial sebagai alat perlawanan. Gerakan seperti #ReformasiDikorupsi dan #GejayanMemanggil adalah contoh bagaimana mahasiswa dan masyarakat sipil menggunakan media sosial untuk mengorganisir protes besar-besaran menentang kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat.
Namun, seperti yang terjadi di Mesir, ada bahaya nyata bahwa gerakan-gerakan ini dapat direpresi oleh pemerintah. Dengan semakin canggihnya teknologi pengawasan dan penindasan digital, termasuk penggunaan UU ITE untuk menjerat para pengkritik, ruang bagi perlawanan semakin menyempit.
2. Kontrol dan Reaksi Pemerintah
Pemerintah Indonesia, di bawah Presiden Jokowi, tidak segan-segan menggunakan kekuasaan untuk mengontrol media sosial dan membungkam suara-suara oposisi. Pemblokiran internet di Papua dan penangkapan aktivis yang vokal di media sosial adalah contoh dari bagaimana pemerintah menggunakan teknologi untuk mempertahankan kontrol.
Selain itu, terdapat tuduhan bahwa pemerintah atau aktor-aktor yang terkait dengan pemerintah menggunakan “tentara siber” untuk menyebarkan propaganda pro-pemerintah dan mendiskreditkan para pengkritik. Ini menciptakan iklim ketakutan dan membuat masyarakat semakin sulit untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka secara bebas.
3. Keterbatasan Media Sosial dalam Mobilisasi Jangka Panjang
Meskipun media sosial bisa efektif untuk memobilisasi protes jangka pendek, tantangannya adalah mempertahankan momentum tersebut dalam jangka panjang. Pengalaman dari Mesir menunjukkan bahwa bahkan setelah kejatuhan Mubarak, tantangan demokrasi tetap ada, dan dalam beberapa tahun, negara tersebut kembali ke tangan rezim militer.
Di Indonesia, tantangan serupa juga muncul. Meskipun protes-protes yang diorganisir melalui media sosial bisa menjadi sinyal perlawanan yang kuat, tanpa dukungan institusi yang kuat, seperti partai politik yang benar-benar mewakili rakyat, sulit untuk memastikan bahwa perubahan yang diinginkan dapat bertahan lama.
Penutup: Pelajaran dari Mesir untuk Indonesia
Belajar dari pengalaman Mesir, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diterapkan di Indonesia. Pertama, media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk mengorganisir perlawanan, tetapi harus disertai dengan strategi yang lebih luas dan jangka panjang untuk mempertahankan demokrasi. Kedua, institusi seperti DPR dan partai politik harus direformasi agar benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pelindung demokrasi.
Namun, pada akhirnya, jika pemerintah terus mengekang ruang demokrasi dan gagal mendengarkan suara rakyat, maka risiko besar yang dihadapi adalah bahwa rakyat Indonesia akan merasa sendirian dalam mempertahankan hak-hak mereka. Dalam kondisi ini, media sosial mungkin menjadi satu-satunya ruang di mana rakyat dapat menyuarakan ketidakpuasan mereka dan memperjuangkan perubahan. Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Mesir, perjuangan ini tidak akan mudah dan membutuhkan kesatuan serta keberanian dari seluruh elemen masyarakat.
Penulis: Ramdan Maulana (Wakil Ketua KNPI Jawa Barat)
- Penulis: Admin