Netanyahu menentang ‘jeda taktis’ militer Israel
- account_circle Admin
- calendar_month
- comment 0 komentar

[ad_1]
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menentang rencana yang diumumkan oleh militer untuk mengadakan jeda taktis setiap hari dalam pertempuran di sejauh salah satu jalan utama menuju Tanda Gaza yang terkepung dan dibombardir untuk memfasilitasi pengiriman bantuan ke daerah kantong Palestina.
Militer telah mengumumkan jeda harian mulai pukul 05:00 GMT hingga 16:00 GMT di daerah penyeberangan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) ke Jalan Salah al-Din dan kemudian ke utara.
“Ketika perdana menteri mendengar laporan tentang jeda kemanusiaan selagi 11 jam di pagi hari, dia menoleh ke sekretaris militernya dan menjelaskan bahwa hal ini sepertinya tidak bisa diterima olehnya,” kata seorang pejabat Israel kepada kantor berita Reuters.
Militer mengklarifikasi bahwa operasi standard akan berlanjut di Rafah, fokus utama serangan yang sedang berlangsung di Gaza selatan, di mana delapan tentara tewas pada hari Sabtu.
Pasukan Israel menghancurkan rumah-rumah di daerah tersebut dan serangan di sana terus berlanjut pada hari Minggu, meski demikian hari itu yaitu hari pertama Idul Adha, perayaan umat Islam yang paling penting tahun ini.
Serangan Israel terhadap dua rumah di kamp pengungsi Bureij di Gaza tengah menewaskan sembilan orang, termasuk enam anak-anak, menurut kantor berita negara Palestina Wafa.
Saat ini, setidak-tidaknya dua warga Palestina di lingkungan Tal as-Sultan di Rafah barat tewas dalam serangan Israel lainnya, yang ditindaklanjuti oleh militer dengan menargetkan ambulans yang mencoba menjangkau para penderita, menurut koresponden Al Jazeera Arab di lapangan.
Militer Israel juga mengumumkan tewasnya tiga tentara, dua di antaranya tentara cadangan, dalam pertempuran pada hari Minggu.
Perpecahan di kalangan pemerintah, tentara
Penentangan Netanyahu terhadap jeda taktis ini menggarisbawahi ketegangan politik mengenai masalah bantuan yang masuk ke Gaza, di mana organisasi-organisasi internasional telah memperingatkan akan meningkatnya krisis kemanusiaan dan ancaman kelaparan.
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, yang memimpin salah satu partai keagamaan nasionalis dalam koalisi Netanyahu, mengecam gagasan jeda taktis, dan menyampaikan siapa pun yang mengambil keputusan hal itu yaitu orang “bodoh” yang harus segera kehilangan pekerjaannya.
Para menteri di pemerintahan sayap kanan ingin mengurangi bantuan yang masuk ke Gaza lebih lanjut, meski demikian sebagian besar bantuan tersebut telah dipotong sejak Israel mengambil alih perbatasan penting Rafah. Dan selagi berbulan-bulan, kelompok sayap kanan Israel telah melakukan protes dan memblokir jalan untuk mencegah pengiriman bantuan mencapai Gaza, sehingga semakin menghambat aliran bantuan yang sangat dibutuhkan ke wilayah tersebut.
Sebelum penyeberangan tersebut direbut pada tanggal 6 Mei, aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza sudah sepertinya tidak memadai, terutama ke Gaza utara di mana kelaparan telah terjadi.
Pertengkaran ini merupakan yang paling kekinian dari serangkaian bentrokan antara anggota koalisi dan militer terkait serangan di Gaza, yang kini memasuki bulan kesembilan.
Hal ini terjadi seminggu setelah mantan jenderal sentris Benny Gantz mundur dari pemerintahan, menuduh Netanyahu sepertinya tidak mempunyai strategi yang efektif di Gaza.
Perpecahan ini terungkap pekan lalu dalam pemungutan suara parlemen mengenai undang-undang tentang wajib militer Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam militer, dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant memberikan suara menentangnya sebab bertentangan dengan perintah partai, dengan menyampaikan bahwa undang-undang tersebut sepertinya tidak cukup untuk kebutuhan militer.
Partai-partai keagamaan dalam koalisi sangat menentang wajib militer bagi kelompok ultra-Ortodoks, sehingga memicu kemarahan luas dari banyak sekali warga Israel, yang semakin mendalam seiring dengan berlanjutnya perang.
Letnan Jenderal Herzi Halevi, panglima militer, menyampaikan pada hari Minggu bahwa telah ada “kebutuhan yang pasti” untuk merekrut lebih banyak sekali tentara dari komunitas ultra-Ortodoks yang berkembang pesat.
Meski demikian ada tekanan internasional yang meningkat untuk gencatan senjata yang langgeng, kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran masih belum tercapai, lebih dari delapan bulan sejak tanggal 7 Oktober, ketika Israel melancarkan serangan paling kejam di Gaza setelah serangan Hamas ke Israel selatan.
Kampanye militer Israel telah menewaskan lebih dari 37.300 warga Palestina, menurut angka Kementerian Kesehatan Palestina, dan menghancurkan sebagian besar wilayah kantong tersebut.
Meski demikian jajak pendapat memperlihatkan sebagian besar warga Israel memberi dukungan tujuan pemerintah untuk menghancurkan Hamas, terdapat protes luas yang menyerang pemerintah sebab sepertinya tidak berbuat lebih banyak sekali untuk memulangkan sekitar 120 tawanan yang ditahan oleh Hamas di Gaza sejak 7 Oktober.
Ketika pertempuran di Gaza terus berlanjut, konflik tingkat rendah di perbatasan Israel-Lebanon kini mengancam untuk berkembang menjadi perang yang lebih luas sebab baku tembak yang terjadi hampir setiap hari antara pasukan Israel dan kelompok Hizbullah yang didukung Iran semakin meningkat.
Sebagai garis lebih lanjut bahwa pertempuran di Gaza bisa berlarut-larut, pemerintahan Netanyahu menyampaikan pada hari Minggu bahwa pihaknya memperpanjang periode pendanaan lodge dan wisma bagi penduduk yang dievakuasi dari kota-kota perbatasan selatan Israel hingga tanggal 15 Agustus.
[ad_2]
Sumber: aljazeera.com
- Penulis: Admin