Mengurai Benang Kusut Toleransi Internal Umat Islam
- account_circle Tryan Muhammad Syafti
- calendar_month
- comment 0 komentar

Mengurai Benang Kusut Toleransi Internal Umat Islam
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menyimpan ironi yang mendalam. Di satu sisi, keragaman adalah napas keseharian bangsa ini. Namun di sisi lain, tak jarang kita menyaksikan fenomena perpecahan internal di kalangan umat Islam sendiri. Lebih spesifik lagi, perdebatan sengit hingga perpecahan kerap muncul dari isu-isu furu’iyah – masalah-masalah cabang dalam fikih yang sejatinya berada dalam ranah perbedaan pendapat yang ditoleransi (ikhtilaf).
Mengurai Akar Masalah Ketidaktoleranan Internal
Setelah melalui refleksi dan analisis mendalam, beberapa faktor fundamental tampak berkontribusi signifikan terhadap mengerasnya perbedaan pandangan dalam isu furu’iyah hingga berujung pada ketidaktoleranan:
- Primordialisme Kelompok dan Identitas yang Kaku: Fenomena “ego kelompok” atau ashabiyah dalam skala kecil seringkali muncul, di mana interpretasi partikular terhadap furu’iyah dijadikan sebagai penanda utama identitas dan superioritas sebuah kelompok. Perbedaan minor lantas dipersepsikan sebagai ancaman terhadap eksistensi dan “kemurnian” ajaran kelompok tersebut, mengabaikan substansi ajaran Islam yang lebih universal.
- Literasi Sejarah dan Khazanah Intelektual Islam yang Terbatas: Kurangnya pemahaman komprehensif terhadap kekayaan sejarah pemikiran Islam—yang sarat dengan dinamika perbedaan pendapat para ulama mazhab secara santun dan produktif—turut menyumbang pada pandangan yang sempit. Sejarah mencatat bagaimana para imam besar saling menghargai perbedaan furu’iyah, sebuah tradisi intelektual yang sayangnya kurang tereplikasi di masa kini.
- Pendekatan Dakwah yang Simplistik dan Hitam-Putih: Beberapa metode dakwah cenderung menyederhanakan persoalan kompleks furu’iyah menjadi dikotomi benar-salah, sunnah-bid’ah, bahkan surga-neraka secara absolut. Fokus pada aspek ritual-simbolik tanpa diimbangi penjelasan mengenai maqasid asy-syari’ah (tujuan-tujuan fundamental syariat) dan fiqh al-awlawiyyat (pemahaman prioritas) dapat melahirkan sikap kaku dan mudah menghakimi.
- Faktor Psikologis dan Kognitif: Kecenderungan psikologis seperti confirmation bias (mencari pembenaran atas keyakinan yang sudah ada) dan terbentuknya echo chambers (ruang gema) di era digital turut memperkuat keyakinan partikular dan menumpulkan sensitivitas terhadap perspektif berbeda. Hal ini menjadikan dialog yang sehat semakin sulit terwujud.
Menuju Solusi Konstruktif dan Berkelanjutan
Mengatasi masalah kompleks ini membutuhkan upaya kolektif dan strategi multi-lapis yang berkelanjutan:
- Penguatan Literasi Keagamaan Kritis dan Komprehensif: Mendorong pendidikan agama yang tidak hanya bersifat doktrinal, tetapi juga membuka ruang untuk pemahaman historis, kontekstual, dan apresiasi terhadap keragaman metodologi (manhaj) serta pendapat dalam fikih Islam. Memperkenalkan kembali adab al-ikhtilaf (etika berbeda pendapat) sebagai bagian integral dari kurikulum keagamaan.
- Reformasi Narasi dan Pendekatan Dakwah: Para da’i, ulama, dan lembaga keagamaan memiliki peran sentral dalam mempromosikan narasi dakwah yang menyejukkan, menekankan persatuan (ukhuwah Islamiyah), substansi ajaran (akhlak, keadilan, kemaslahatan umum), dan maqasid syariah, ketimbang terjebak dalam perdebatan furu’iyah yang tidak produktif di ruang publik.
- Penciptaan dan Perluasan Ruang Dialog Inklusif: Memfasilitasi forum-forum dialog yang aman dan konstruktif antar berbagai kelompok dan pandangan dalam umat Islam, dengan tujuan saling memahami (tafahum), bukan saling mengalahkan.
- Peningkatan Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial: Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya berpikir kritis dalam mengonsumsi konten keagamaan di dunia maya, serta mendorong tanggung jawab dalam menyebarkan informasi.
- Keteladanan dari Para Tokoh: Figur publik, tokoh agama, dan intelektual Muslim diharapkan dapat menjadi contoh dalam mempraktikkan toleransi, kedewasaan dalam menyikapi perbedaan, dan fokus pada isu-isu strategis umat.
- Mengalihkan Fokus pada Agenda Bersama Umat: Mendorong kolaborasi dan sinergi antar berbagai elemen umat Islam untuk mengatasi tantangan-tantangan nyata yang dihadapi bersama, seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, akses pendidikan berkualitas, dan isu lingkungan. Energi kolektif umat akan jauh lebih produktif jika disalurkan ke arah ini.
Perbedaan pandangan dalam isu-isu furu’iyah adalah keniscayaan historis dan intelektual dalam Islam. Namun, menjadikannya sebagai sumber perpecahan dan ketidaktoleranan adalah sebuah kemunduran yang merugikan umat secara keseluruhan. Sudah saatnya energi kolektif umat Islam Indonesia tidak lagi terkuras dalam perselisihan cabang yang tak berkesudahan, melainkan diarahkan untuk membangun peradaban yang lebih adil, berilmu, dan membawa rahmat bagi semesta alam. Toleransi internal, yang lahir dari pemahaman mendalam dan kelapangan dada, adalah kunci menuju kemajuan tersebut. Upaya ini membutuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dari setiap individu Muslim.
- Penulis: Tryan Muhammad Syafti