Membongkar Culture of Denial, Saat Negara Mencoba Menghapus Tragedi Mei ’98 dari Ingatan
- account_circle Tryan Muhammad Syafti
- calendar_month
- comment 0 komentar

Membongkar Culture of Denial, Saat Negara Mencoba Menghapus Tragedi Mei '98 dari Ingatan
Bayangkan sebuah gaslighting skala nasional. Sebuah narasi di mana luka kolektif yang paling dalam—kekerasan seksual sistematis dalam Kerusuhan Mei 1998—didegradasi menjadi sekadar “rumor” oleh pejabat tertinggi yang bertugas merawat memori bangsa. Inilah realitas yang kita hadapi ketika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, secara terbuka mengklaim bahwa tidak ada bukti atas tragedi tersebut. Ini bukan sekadar statement kontroversial; ini adalah gejala dari penyakit kronis yang disebut culture of denial—budaya penyangkalan.
Klaim “Tanpa Bukti” vs. Realitas Fakta yang Menyakitkan
Mari kita luruskan “rumor” yang dimaksud Fadli Zon. Di kanal YouTube IDN Times, ia dengan percaya diri bertanya, “Ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya.”
Klaim ini langsung menabrak tembok data dan kesaksian yang telah terdokumentasi rapi. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), sebuah tim yang dibentuk oleh negara sendiri pada 1998, adalah antitesis dari narasi “tanpa bukti” ini. TGPF secara spesifik memverifikasi:
- 52 korban perkosaan
- 14 korban perkosaan dengan penganiayaan
- 10 korban penyerangan seksual
- 9 korban pelecehan seksual
Laporan ini juga menemukan pola yang mengerikan: sebagian besar adalah gang rape (perkosaan bergilir), sering kali dilakukan di depan umum, dan secara sistematis menargetkan perempuan dari etnis Tionghoa. Ini bukan rumor, ini adalah temuan investigatif. Menyebutnya “cerita” adalah sebuah tindakan penghapusan memori secara aktif.
Culture of Denial: Penyakit Struktural, Bukan Opini Personal
Pernyataan Fadli Zon bukanlah anomali. Aktivis perempuan dan HAM, Kamala Chandrakirana, dengan tajam mengidentifikasinya sebagai manifestasi dari culture of denial. Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Pelapor Khusus PBB Radhika Coomaraswamy dalam laporannya tentang Indonesia pasca-98, merujuk pada penolakan institusional untuk mengakui kebenaran yang tidak nyaman.
Logikanya begini, seperti yang dijelaskan Coomaraswamy: aparat berdalih “tidak ada laporan yang masuk, jadi perkosaan tidak terjadi.” Padahal, minimnya laporan justru disebabkan oleh ketidakpercayaan total korban terhadap sistem hukum yang gagal melindungi mereka. Jadi, kegagalan sistem dijadikan alasan untuk meniadakan kejahatan itu sendiri.
Ketika seorang menteri—hampir tiga dekade setelah laporan PBB itu terbit—mengulangi narasi yang sama, ini menunjukkan bahwa budaya penyangkalan itu tidak hanya bertahan, tapi bersemayam nyaman di puncak kekuasaan. Ini bukan lagi soal “lupa,” tapi soal penolakan aktif untuk mengingat.
Proyek Amnesia Kolektif Bernama “Sejarah Nasional”
Ironisnya, Fadli Zon melontarkan penyangkalan ini saat ia memimpin proyek penulisan ulang “Sejarah Indonesia”. Ia mengklaim buku sejarah ini bertujuan untuk “mempersatukan bangsa”. Pertanyaannya: persatuan macam apa yang dibangun di atas kuburan kebenaran?
Dalam draf proyek tersebut, kekerasan seksual Mei ’98 hanyalah salah satu dari sekian banyak “noda” sejarah yang dihapus. Turut dihilangkan adalah pembantaian massal 1965, Petrus, penghilangan paksa aktivis, hingga tragedi Trisakti dan Semanggi. Ini bukan penulisan sejarah; ini adalah kurasi sejarah—sebuah proses memilih dan membuang masa lalu demi citra bangsa yang steril dan palsu.
Profesor Sulistyawati Irianto dari UI menyebutnya sebagai “penyesatan identitas bangsa”. Bangsa yang besar, seperti Jerman dan Jepang, membangun masa depan mereka dengan mengakui dan menyesali kengerian masa lalu (mea culpa), bukan dengan berpura-pura itu tidak pernah ada. Tujuannya jelas: agar tragedi serupa tidak pernah terulang.
Menyangkal Mei ’98 = Menyangkal Eksistensi Komnas Perempuan
Pukulan telak terhadap logika Fadli Zon datang dari sejarah pembentukan Komnas Perempuan. Aktivis Ita Fatia Nadia mengingatkan bahwa institusi negara ini lahir justru karena negara mengakui terjadinya kekerasan seksual Mei ’98.
Pada Oktober 1998, para aktivis perempuan bertemu langsung dengan Presiden B.J. Habibie, menyerahkan data dan fakta. Respons Habibie saat itu adalah pengakuan: ia “percaya” dan “menerima bahwa terjadi perkosaan massal”. Dari pertemuan inilah lahir Keppres No. 181 Tahun 1998 yang mendirikan Komnas Perempuan.
Maka, ketika Fadli Zon menyangkal peristiwa perkosaan tersebut, ia tidak hanya menyakiti korban dan mengingkari laporan TGPF. Secara fundamental, ia menegasikan alasan eksistensial salah satu lembaga negara.
Pada akhirnya, ini bukan sekadar perdebatan akademis. Ini adalah pertarungan antara memori dan amnesia yang disponsori negara. Apa yang dilakukan Fadli Zon dan proyek sejarahnya adalah upaya untuk melegitimasi penyangkalan, membungkusnya dalam narasi “persatuan”, dan memastikan bahwa utang negara terhadap korban—utang pengakuan dan pemulihan—tidak akan pernah dilunasi. Sejarah yang mereka tulis terancam kehilangan keabsahannya bahkan sebelum tintanya kering, karena ia tidak mencerminkan denyut nadi penderitaan dan perjuangan bangsanya sendiri.
- Penulis: Tryan Muhammad Syafti