Mahkamah Sosial Media, Ketika Jempol Netizen Lebih Dipercaya Daripada Lencana Polisi
- account_circle Tryan Muhammad Syafti
- calendar_month
- comment 0 komentar

Mahkamah Sosial Media, Ketika Jempol Netizen Lebih Dipercaya Daripada Lencana Polisi
Ada masalah? Jangan ke kantor polisi.
Bikin utas di Twitter. Rekam videonya, unggah ke TikTok. Lengkapi dengan bukti screenshot dan narasi yang menyentuh. Lalu duduk, dan saksikan bola salju digital itu menggelinding. Tunggu sampai viral.
Ini bukan lagi sekadar tips, ini sudah menjadi semacam prosedur operasi standar (SOP) tak tertulis bagi masyarakat Indonesia yang mencari keadilan. Selamat datang di era “Mahkamah Sosial Media”, sebuah pengadilan alternatif di mana hakimnya adalah jutaan netizen, dan vonisnya adalah keterdesakan yang dipicu oleh tekanan publik.
Tapi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Kenapa “pengadilan” digital yang kacau dan tanpa aturan ini bisa menjadi pilihan utama, mengalahkan institusi resmi negara yang punya gedung, anggaran, dan aparat berseragam?
Jawabannya sederhana, namun menakutkan: Ini bukan pilihan yang didasari oleh kecintaan pada drama, tapi sebuah tindakan putus asa yang lahir dari runtuhnya kepercayaan terhadap sistem peradilan resmi.
Pintu Resmi yang Tertutup Rapat
Secara teori, kantor polisi seharusnya menjadi pintu pertama dan utama bagi warga yang butuh perlindungan. Namun dalam praktiknya, pintu itu seringkali terasa tertutup, bahkan terkunci rapat oleh dua gembok besar:
- Gembok Transaksional: Ada persepsi kuat di masyarakat bahwa hukum adalah komoditas. Mau laporan cepat diproses? Ada “biayanya”. Mau urusan dipermudah? “Tahu sama tahu lah”. Prinsip keadilan sebagai hak publik telah tergerus oleh realitas transaksional yang membuat korban berpikir dua kali. Berapa biaya yang harus dikeluarkan, bukan hanya uang, tapi juga waktu dan tenaga, untuk sebuah keadilan yang belum pasti didapat?
- Gembok Psikologis: Selain biaya materi, ada biaya mental. Korban seringkali takut laporannya akan diabaikan, diputarbalikkan, atau bahkan mengalami victim blaming. Institusi yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi sumber kecemasan baru. Alih-alih merasa aman, korban justru merasa terintimidasi.
Ketika pintu resmi terasa terlalu mahal dan terlalu berisiko, wajar jika orang mencari pintu darurat.
Cara Kerja Pengadilan Jalanan Digital
Media sosial menawarkan pintu darurat itu, sebuah “pengadilan” dengan mekanisme yang jauh lebih sederhana namun luar biasa efektif:
- Panitera Pengadilan: Tombol “Post” atau “Upload”. Buka 24/7, gratis, dan bisa diakses dari mana saja.
- Jaksa Penuntut Umum: Korban itu sendiri, yang menyusun “berkas tuntutan” dalam bentuk utas, video, atau unggahan cerita.
- Barang Bukti: Screenshot percakapan, rekaman suara, foto, atau video yang relevan.
- Majelis Hakim & Juri: Jutaan netizen Indonesia yang siap menyimak, menganalisis, dan yang terpenting, menyebarkan.
- Proses Persidangan: Gelombang retweet, share, komentar, dan duet yang berlangsung dalam hitungan jam, bukan tahun.
- Vonis: Bukan penjara, tapi keterdesakan. Tekanan publik yang masif memaksa para petinggi institusi resmi—yang tadinya mungkin tidak peduli—untuk turun tangan demi menyelamatkan citra dan jabatan. Viral adalah surat perintah super sakti yang tidak bisa diabaikan.
Pengadilan ini bekerja karena ia berhasil membobol benteng birokrasi dan hierarki yang seringkali menjadi penghambat keadilan.
Pedang Bermata Dua Keadilan Instan
Namun, kita harus tetap kritis. “Mahkamah Sosial Media” adalah arena yang liar dan berbahaya. Keadilan yang dihasilkannya seringkali datang dengan ongkos yang tak terlihat:
- Tanpa Asas Praduga Tak Bersalah: Di pengadilan ini, Anda bersalah sampai terbukti tidak bersalah. Narasi pertama yang muncul seringkali menjadi kebenaran absolut, tanpa ruang untuk verifikasi atau pembelaan yang adil.
- Algoritma Adalah Raja: Keadilan menjadi selektif. Hanya kasus-kasus yang “viral-able”—yang dramatis, tragis, atau melibatkan tokoh terkenal—yang mendapat perhatian. Ribuan ketidakadilan “biasa” lainnya tetap terkubur dalam sunyi.
- Eksekusi oleh Massa: Hukuman yang dijatuhkan bisa sangat brutal: doxxing (penyebaran data pribadi), pemecatan dari pekerjaan, perundungan tanpa henti terhadap keluarga. Ini adalah eksekusi massa digital tanpa proses hukum.
Cermin Retak Bernama Kepercayaan
Muncul dan suburnya “Mahkamah Sosial Media” bukanlah sebuah prestasi. Ia adalah cermin raksasa yang retak, yang memantulkan betapa dalamnya jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan aparaturnya.
Masyarakat tidak lari ke media sosial karena iseng. Mereka lari karena terdesak. Karena di sanalah, di tengah segala kekacauannya, mereka menemukan secercah harapan untuk didengar.
Tugas kita bersama, terutama bagi negara, bukanlah menyalahkan warga yang memilih jalur ini. Tugasnya adalah memperbaiki sistem resmi hingga “Mahkamah Sosial Media” menjadi usang dan tidak relevan lagi. Tugasnya adalah memastikan pintu kantor polisi terbuka lebar, aman, dan gratis bagi siapa pun yang mencarinya.
Karena pada akhirnya, ketika warga lebih percaya pada kekuatan jempol netizen daripada lencana di seragam, itu bukan lagi sekadar krisis kepercayaan.
Itu adalah keruntuhan legitimasi.
- Penulis: Tryan Muhammad Syafti