Gelombang Ketidakpastian Ekonomi Global: Konflik Timur Tengah Memicu Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Stagflasi
- account_circle Aydin prayata
- calendar_month
- comment 0 komentar

Gelombang Ketidakpastian Ekonomi Global: Konflik Timur Tengah Memicu Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Stagflasi
Jakarta, 22 Juni 2025 – Eskalasi konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, terus mengirimkan gelombang kejut ke perekonomian global. Sejak serangan misil yang saling diluncurkan pada pertengahan Juni 2025, pasar finansial dan sektor energi di seluruh dunia menghadapi tekanan signifikan, memicu kekhawatiran akan ancaman inflasi yang lebih tinggi dan potensi perlambatan ekonomi.
1. Lonjakan Harga Minyak dan Biaya Logistik: Dampak paling langsung dan terasa adalah lonjakan harga minyak mentah dunia. Iran, sebagai salah satu produsen minyak terbesar, dan posisinya yang strategis di Selat Hormuz (jalur vital bagi lebih dari 20 juta barel minyak per hari), membuat setiap gejolak di kawasan ini langsung memicu kekhawatiran pasokan. Harga minyak Brent dilaporkan telah melonjak lebih dari $10 per barel dalam sepekan terakhir, bahkan beberapa analis memprediksi bisa mencapai $130 per barel jika konflik meluas.
Kenaikan harga minyak ini tidak hanya membebani anggaran rumah tangga dan industri, tetapi juga meningkatkan biaya logistik secara global. Banyak perusahaan pelayaran, termasuk Shell, terpaksa mengalihkan rute kapal mereka melalui Afrika untuk menghindari zona konflik di Laut Merah dan Selat Hormuz. Pemutaran rute ini menambah waktu tempuh 1-2 minggu dan membengkak biaya pengiriman hingga $1 juta per pelayaran, yang pada akhirnya akan diteruskan ke harga barang konsumen. Ini berpotensi memperburuk tekanan inflasi di berbagai negara. Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) juga mewaspadai potensi kenaikan tarif pelayaran hingga 300% akibat situasi ini.
2. Tekanan pada Pasar Saham dan Penguatan Dolar AS: Ketidakpastian geopolitik mendorong investor global beralih ke aset aman seperti dolar AS dan emas. Akibatnya, indeks dolar menguat, sementara nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk Rupiah Indonesia, mengalami tekanan dan pelemahan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia dan bursa saham global seperti Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq-100 juga terkoreksi signifikan. Indeks Volatilitas VIX, yang sering disebut sebagai “pengukur rasa takut Wall Street”, melonjak lebih dari 13%. Investor menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil langkah investasi.
3. Ancaman Inflasi Global dan Stagflasi: Lonjakan harga energi dan gangguan rantai pasok secara langsung berkontribusi pada peningkatan inflasi global. Jika kondisi ini berlanjut, bank sentral di berbagai negara mungkin akan terpaksa mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama untuk mengendalikan inflasi, yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Para analis memperingatkan adanya risiko fenomena stagflasi, yaitu situasi di mana inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
4. Dampak Regional dan Negara Tertentu: Negara-negara pengimpor minyak di kawasan MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara) seperti Yordania menghadapi tekanan ekonomi yang lebih berat. Sementara itu, negara pengekspor minyak seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab justru diuntungkan dari kenaikan harga minyak. Rusia, sebagai produsen minyak besar, juga dilaporkan mendapatkan keuntungan dari krisis ini.
Bagi Indonesia, Kementerian Keuangan memperkirakan setiap kenaikan US$1 per barel harga minyak akan meningkatkan biaya subsidi energi sebesar Rp 6,9 triliun, memberikan tekanan besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika harga minyak mencapai $100-$110 per barel, tambahan subsidi yang diperlukan bisa mencapai Rp 69 triliun hingga Rp 140 triliun, berpotensi meningkatkan defisit APBN. Selain itu, gangguan rantai pasok dapat mengancam ekspor Indonesia ke Eropa karena biaya logistik yang membengkak.
5. Respons Kebijakan dan Prospek ke Depan: Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025 akan berada di kisaran 3%, dengan ketidakpastian yang tinggi akibat konflik Timur Tengah dan perang tarif dagang. Negara-negara besar terus memantau situasi dan mempertimbangkan kebijakan darurat ekonomi. OPEC+ juga dikabarkan menambah produksi minyak di tengah konflik ini untuk menjaga keamanan pasokan, meskipun dampaknya masih harus dilihat.
Komunitas internasional menyerukan deeskalasi dan penyelesaian konflik secara diplomatik untuk memitigasi dampak ekonomi yang lebih parah. Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan memperingatkan bahwa jika perang Iran-Israel “out of control”, dunia berada di ambang malapetaka. Namun, selama ketegangan di Timur Tengah terus memanas, prospek ekonomi global akan tetap diselimuti ketidakpastian dan risiko yang signifikan
- Penulis: Aydin prayata