Episode Baru Korupsi Bansos, KPK Panggil Lagi Juliari Batubara, Ada Apa di Balik Penyaluran Beras?
- account_circle Tryan Muhammad Syafti
- calendar_month
- comment 0 komentar

Episode Baru Korupsi Bansos, KPK Panggil Lagi Juliari Batubara, Ada Apa di Balik Penyaluran Beras?
Panggung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini kembali menyorot satu nama yang sangat familiar di telinga publik: Juliari Peter Batubara. Mantan Menteri Sosial yang sudah mendekam di penjara ini dipanggil lagi ke Gedung Merah Putih. Statusnya memang “hanya” sebagai saksi, tapi pemanggilan ini jadi sinyal kuat bahwa KPK belum selesai mengobrak-abrik salah satu skandal korupsi paling menyakitkan dalam sejarah Indonesia: korupsi dana bantuan sosial (bansos).
Kali ini, fokus penyidikan KPK mengarah pada kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial beras untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dalam Program Keluarga Harapan (PKH) periode 2020-2021. Ini adalah chapter yang berbeda, tapi masih dalam satu “buku” yang sama dengan kasus suap bansos sembako COVID-19 yang sebelumnya menjerat Juliari.
Pemanggilan Juliari ini bukan tanpa sebab. KPK sedang menelisik dugaan adanya permainan kotor dalam proses distribusi beras bansos oleh Perum Jasa Tirta II, sebuah BUMN yang—agak aneh—ikut serta dalam proyek ini. Penyidik butuh keterangan dari Juliari, yang saat itu menjabat sebagai “raja” di Kementerian Sosial, untuk memetakan bagaimana alur kebijakan, penunjukan rekanan, dan potensi aliran dana haram dalam program tersebut.
Secara kritis, pemanggilan ulang seorang terpidana korupsi kelas kakap seperti Juliari ini memunculkan beberapa pertanyaan teoretis yang menggelitik.
Pertama, ini menunjukkan betapa kompleks dan gurita korupsi di Kemensos saat itu. Kasus suap bansos COVID-19 yang terungkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) ternyata hanyalah puncak dari gunung es. Di bawahnya, ada lapisan-lapisan lain, program-program lain, yang diduga juga jadi “lahan basah” untuk dikorupsi. KPK seolah sedang menarik satu benang, dan yang terurai adalah jaring laba-laba yang kusut dan menjerat banyak pihak. Ini adalah cerminan dari korupsi yang sudah bersifat sistemik, bukan lagi sekadar ulah oknum.
Kedua, ini adalah tes konsistensi bagi KPK itu sendiri. Di tengah berbagai isu pelemahan dan sorotan publik, pengembangan kasus ini seolah menjadi cara KPK untuk bilang, “Kami masih ada dan kami belum menyerah.” Dengan mengorek keterangan dari saksi kunci sekaliber Juliari, KPK berharap bisa menjerat tersangka-tersangka baru, mungkin dari kalangan birokrat lain atau pihak swasta yang selama ini “aman” di balik layar.
Secara teoretis, ini adalah manifestasi dari konsep state-corporate crime, di mana terjadi kolusi antara pejabat negara (dalam hal ini, oknum di kementerian) dengan korporasi (BUMN atau swasta) untuk menyelewengkan kebijakan demi keuntungan pribadi dan kelompok. Program yang tujuannya mulia—membantu rakyat miskin—justru dibajak menjadi mesin penghasil uang haram. Bantuan yang seharusnya sampai utuh ke tangan Keluarga Penerima Manfaat, “disunat” di berbagai titik oleh para pemburu rente.
Publik tentu berharap pemanggilan Juliari ini bukan sekadar formalitas atau drama hukum tanpa akhir. Harapannya, ini akan membuka kotak pandora yang lebih besar, mengungkap semua pemain yang terlibat, dan yang terpenting, memastikan setiap rupiah uang rakyat yang dikorupsi bisa kembali ke kas negara.
Kasus ini adalah pengingat pahit. Di saat jutaan orang berjuang hidup di tengah pandemi, ada segelintir elite yang tega berpesta pora di atas penderitaan mereka. Dan tugas KPK sekarang adalah memastikan pesta haram itu benar-benar usai dan semua yang terlibat mendapatkan “kado” yang setimpal.
- Penulis: Tryan Muhammad Syafti