Doktrin Kapitalis Paling ‘Agamis’
- account_circle Tryan Muhammad Syafti
- calendar_month
- comment 0 komentar

Doktrin Kapitalis Paling 'Agamis'
Pernah denger kalimat sakti ini di tongkrongan atau, lebih parah, dari atasan langsung? “Kalau kinerja kamu nilainya 10 juta tapi digaji cuma 5 juta, jangan sedih. Sisanya itu bakal diganti Tuhan dalam bentuk lain, kayak kesehatan, keluarga harmonis, atau lingkungan kerja yang asik.” Di sisi lain, “Kalau kerjamu cuma seharga 5 juta tapi digaji 10 juta, siap-siap aja kelebihan 5 jutanya ‘ditarik’ balik lewat musibah, sakit, atau ketipu.”
Kedengarannya spiritual, kan? Bijak, gitu. Padahal, kalau kita bedah, ini adalah salah satu doktrin paling manipulatif yang pernah ada—sebuah mahakarya kapitalisme yang dibungkus dengan sampul agama biar kelihatan suci.
Ini bukan pencerahan, ini adalah spiritual gaslighting. Mari kita bongkar lapis demi lapis kenapa narasi ini super sus dan berbahaya.
Anatomi Eksploitasi: Saat Hak Profesional Jadi ‘Bonus’ Ilahi
Inti dari doktrin ini adalah mengubah ekspektasi profesional menjadi persoalan iman. Gaji yang seharusnya menjadi hak terukur atas kontribusi, waktu, dan skill kita, tiba-tiba diubah statusnya menjadi sekadar “salah satu bentuk “.
- The Gaslighting: Ketika lu mulai mikir, “Kok gaji gue nggak sepadan ya sama kerjaan?”, narasi ini langsung menyergap: “Oh, mungkin kamu kurang bersyukur. Lihat, kamu masih sehat kan? Itu ‘gaji’-nya.” Ini adalah cara brilian untuk membungkam protes. Lu dibuat merasa bersalah karena menuntut hak yang paling fundamental.
- The Red Flag: Lingkungan kerja positif, kesehatan, dan waktu luang itu bukan hadiah pengganti gaji. Itu adalah output dari manajemen yang baik dan hak dasar seorang pekerja. Perusahaan yang sehat seharusnya menyediakan itu semua, plus gaji yang adil. Kalau salah satu harus dikorbankan untuk yang lain, itu bukan takdir, itu namanya manajemen bobrok.
Doktrin ini secara efektif menciptakan karyawan “ideal” versi kapitalisme: pekerja keras yang pasrah dibayar murah karena yakin sedang menabung pahala atau “rezeki non-materi”.
Sorry, Tuhan Bukan Akuntan Kantor Lu
Secara teologis, narasi ini melakukan pendangkalan yang parah terhadap konsep-konsep spiritual yang dalam.
Konsep rezeki dalam banyak ajaran agama itu luas, misterius, dan nggak bisa dikalkulasi kayak neraca keuangan. Menganggap rezeki sebagai “penutup selisih gaji” adalah sebuah reduksi yang menghina. Ini seolah-olah Tuhan adalah akuntan kosmik yang tugasnya menyeimbangkan debit-kredit kehidupan finansial lu.
Lebih parah lagi, ini mengabaikan total konsep fundamental seperti ikhtiar (usaha maksimal) dan tawakal (berserah diri). Urutan yang benar adalah lu berusaha sekeras mungkin—termasuk bernegosiasi untuk mendapatkan kompensasi yang layak atas kinerjamu—baru kemudian hasilnya lu serahkan pada Tuhan. Doktrin ini memotong jalur ikhtiar dan menyuruhmu langsung lompat ke tawakal atas kondisi yang jelas-jelas tidak adil.
Dan ide bahwa gaji tinggi akan “ditarik paksa” lewat musibah? Ini lowkey menggambarkan Tuhan sebagai entitas cemburuan yang nggak suka melihat hamba-Nya sejahtera secara finansial. Padahal, musibah dan ujian adalah bagian acak dari kehidupan yang bisa menimpa siapa saja, tak peduli saldo rekeningnya.
Jebakan Logika yang Bikin Kita Overthinking
Kenapa doktrin ini bisa terasa “masuk akal”? Karena pikiran kita secara alami suka mencari pola dan sebab-akibat, bahkan di tempat yang nggak ada hubungannya.
Ini adalah jebakan klasik korelasi dianggap sebab-akibat.
- Lu baru naik gaji, eh seminggu kemudian motor lu hilang. Pikiran langsung menyimpulkan: “Ini pasti karena kelebihan gaji gue!”
- Temen lu gajinya pas-pasan, tapi anaknya pinter dan menang lomba. Pikiran langsung menyimpulkan: “Tuh kan, rezekinya dialihkan ke anak.”
Padahal, kejadian-kejadian ini nggak punya hubungan kausalitas. Ini cuma kebetulan. Narasi ini menyediakan “jawaban” yang gampang untuk pertanyaan hidup yang kompleks, dan bagi banyak orang, penjelasan yang salah lebih menenangkan daripada ketidakpastian.
Siapa Pemenang Sebenarnya? Sistem, Bro.
Jika kita zoom out, doktrin ini adalah pelumas yang sempurna untuk mesin kapitalisme dan hustle culture.
Ia secara efektif mengindividualisasi masalah sistemik. Masalah “upah minimum yang tidak layak” atau “kultur perusahaan yang eksploitatif” diubah menjadi “ujian keimanan personalmu”. Solusinya jadi bukan berserikat dan menuntut perubahan sistem, tapi introspeksi dan “memperbaiki” rasa syukur.
Ini adalah bentuk spiritual bypassing paling nyata: menggunakan dalih spiritual untuk lari dari penyelesaian masalah konkret di dunia nyata. Hasilnya? Status quo aman, profit perusahaan terjaga, dan para pekerja tetap berada di posisi yang lemah sambil merasa sedang menjalani jalan spiritual yang luhur.
Final Words: Know Your Worth, Stop Romanticizing Exploitation
Jadi, kalau lain kali lu denger narasi ini, anggap aja sebagai red flag raksasa.
Kinerjamu punya nilai pasar yang objektif. Keahlianmu, waktumu, dan tenagamu itu berharga. Mendapatkan kompensasi yang adil untuk itu bukanlah tanda ketamakan, melainkan tanda profesionalisme dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Spiritualitas sejati seharusnya memberdayakan lu untuk memperjuangkan keadilan, bukan membuat lu pasrah pada penindasan. Jangan biarkan keyakinanmu dibajak untuk merasionalisasi eksploitasi.
Your work has value. Your worth is non-negotiable. Demand what you deserve. Titik.
- Penulis: Tryan Muhammad Syafti