Diskriminasi Perempuan, Kaum Patriaki Terus Berbondong
- account_circle Shinta Nurfauziah
- calendar_month
- comment 0 komentar

Sejak masa penjajahan, Indonesia kental sekali dengan budaya pemikiran patriaki, menganggap derajat laki-laki harus selalu berada di atas perempuan. Pemikiran ini tidak selalu berasal dari lelaki, karena tak jarang perempuan turut mendukung budaya ini agar kaumnya senantiasa ‘manut’ sebagai bentuk pelayanan kepada laki-laki.
R.A Kartini sebagai pelopor kebangkitan kaum wanita
Hingga masa itu hadirlah seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi, Raden Ajeng Kartini namanya. Ia mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan, yang merupakan hal langka bagi kaum perempuan pribumi. Melalui pendidikannya itu ia belajar bahasa belanda dan mulai terpapar ide ide barat tentang kemajuan dan kesetaraan.
Kartini sering kali berkomunikasi melalui surat dengan teman-teman Belandanya, seperti Stella Zeehandelaar dan Ny. Abendanon. Ia mengungkapkan dan bertukar pikiran mengenai keresahan, kritik terhadap budaya feodal yang mengekang perempuan, serta gagasan-gagasannya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan dan kesetaraan gender. Ia sangat prihatin dengan kondisi perempuan pribumi yang tidak memiliki kesempatan untuk maju dan terbelenggu oleh adat istiadat.
Kasus diskriminasi pada masa kini
Walau sudah beberapa tahun setelah masa kebangkitan perempuan yang dicetus oleh R.A Kartini, rupanya masih banyak budaya patriaki yang dianut. Sebagai contoh, perempuan kerap menerima gaji lebih rendah dari laki-laki karena dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Padahal, banyak perempuan yang sebenarnya adalah pencari nafkah utama.
Diskriminasi juga terlihat ketika perempuan di-PHK karena hamil dan melahirkan, atau ketika lowongan pekerjaan hanya menerima perempuan lajang, membatasi peluang kerja mereka.
Selain itu, dalam pernikahan, seringkali suami enggan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak karena menganggapnya sebagai tugas istri. Padahal, membangun keluarga yang harmonis memerlukan kerja sama agar beban tidak hanya ditanggung oleh satu pihak.
- Penulis: Shinta Nurfauziah