Nir Political Will Parlemen dalam Regulasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
- account_circle Admin
- calendar_month
- comment 0 komentar

Disusun oleh: Choris Satun Nikmah (chorissatunnikmah@gmail.com)
Sampai saat ini, Indonesia belum juga mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Terhitung bahwa, RUU ini telah mengendap 20 tahun di parlemen sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2004. Meskipun lebih dahulu diusulkan, legislasi PPRT justru tersalip jauh oleh berbagai RUU yang kontroversial, misalkan UU Ciptaker dan PERPPU nya hingga UU IKN dan revisinya. Lalu seberapa genting perlindungan terhadap pekerja rumah tangga ini, khususnya bagi perempuan?
Berdasarkan konvensi ke 100 organisasi perburuhan Internasional (ILO), 16 Juni 2011. Menghasilkan konvensi 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) secara resmi diadopsi oleh 70 negara[1]. PRT melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, menyetrika, mengasuh anak, dan merawat orang tua. Namun, hal ini tidak didukung dengan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga sehingga PRT rentan menjadi korban kekerasan di tempat kerja (Nila Winarni, n.d.). Di Asia, tercatat bahwa terdapat 90% pekerja rumah tangga perempuan (Smales, 2010).
Di Indonesia, Jala PRT, menghitung sejak 2021 sampai dengan Februari 2024 terdapat total 3.308 kasus kekerasan yang dialami PRT. Para korban rata-rata mengalami multi kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan perdagangan manusia[2]. Hal ini diperkuat dengan Catatan Komnas perempuan yang mengemukakan bahwa kekerasan terhadap PRT meningkat dari tahun ke Tahun.
Sejak tahun 2015 hingga 2019 kasus kekerasan terhadap PRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Mislanya, pada tahun 2018 terdapat 434 kasus yang kemudian bertambah menjadi 467 kasus setahun setelahnya. Ini bisa jadi adalah fenomena gunung es, yang mana masih banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap.
Di Indonesia, hak-hak pekerja rumah tangga sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Rumah Tangga. Sayangnya Pekerja rumah tangga yang dikategorikan sebagai sektor informal tidak dapat mengharapkan peraturan ini sebab terdapat hak pekerja di dunia kerja dengan pekerja rumah tangga(Syahyu, 2021). Maka dari itu, diperlukan regulasi khusus yang mengatur perlindungan terhadap pekerja rumah tangga.
RUU Perliindungan Pekerja Rumah Tangga rajin masuk prolegnas jangka panjang maupun prioritas tahunan. Dalam prolegnas prioritas 2024, RUU PPRT juga masih awet dalam daftar tersebut. Sejak pertama kali diusulkan hingga saat ini, umur RUU PPRT hampir menginjak dua dekade, tepatnya 20 tahun. Kemendesak-an RUU ini masih kalah dengan Revisi UU IKN dan RUU lainnnya yang telah duluan disahkan di tahun sidang 2021-2023. Berdasakan Paripurna DPR RI (Baleg), 21 Maret 2023, RUU PPRT telah disetujui untuk menjadi usul inisiatif DPR. Maka dari itu, pembahasan RUU ini dapat dilanjutkan ke tahap pembicaraan tingkat I[3]. Tahap ini merupakan agenda pembahasan RUU PPRT yang melibatkan DPR dan Pemerintah. Sayangnya, belum pernah diadakan sejak RUU PPRT disetujui sebagai inisiatif DPR. Artinya setelah setahun tidak terdapat progres dari RUU ini dalam perkembangan legislasi Indonesia.
Dalam hal jaminan atas perlindungan pekerja rumah tangga, Indonesia sedikit ketinggalan dari pada Filipina. Filipina sudah meratifikasi perjanjian ILO 189 tentang Standar Situasi Kerja Layak PRT pada tahun 2012. Filipina memiliki Republic Act No. 10361, “Batas Kasambahay” atau UU pelindungan dan kesejahteraan Pekerja Rumah Tangga). PRT diakui sebagai pekerja dan mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan. Terdapat pengaturan akan kewajiban majikan untuk mendaftarkan PRT dalam jaminan sosial ketenagakerjaan. Sementara di Indonesia PRT belum diakui sebagai pekerja dan belum mendapatkan hak jaminan sosial ketenagakerjaan. PRT bukan dikategorikan penerima upah dan tidak terdapat kewajiban bagi majikan untuk mendaftarkan pekerjanya atas jaminan sosial ketenagakerjaan. Pada hal ini, Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi ILO 189, namun dalam komitmen lain, seperti SDGs terdapat klausul komitmen terhadap kesetaraan gender.
Padahal dalam Suitainable Development Goals (SDGs) 2030 salah satu fokus pengembangan negara pada komitmen tersebut adalah terkait kesetaraan gender. SDG’s merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Kesepakatan tersebut memiliki 17 Tujuan dan 169 target yang hendak dicapai pada tahun 2030. Tujuan kelima SDG’s adalah kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan serta semua anak perempuan. Jika political will parlemen tetap tidak terlihat dan menggantungkan regulasi perlindungan pekerja rumah tangga berdeka-dekade, padahal memiliki dampak yang luar biasa pada komitmen kesetarakan gender, maka bagaimana kita dapat mengharapkan negara yang adil dan inklusif pada penyelenggaraannya.
[1] Kertas Posisi Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga, 2021 Penulis: Komnas Perempuan
[2] https://www.voaindonesia.com/a/tahun-tanpa-kejelasan-aktivis-desak-pengesahan-ruu-perlindungan-prt/7504064.html
[3] https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/21/akhirnya-ruu-pprt-jadi-ruu-inisiatif-dpr
- Penulis: Admin